Tuesday, April 9, 2019

Serbia dan Sebuah Perjalanan Spiritual

Kalemegdan


Serbia, sebuah negara balkan di Eropa Timur. Awalnya tujuan perjalanan ke Serbia hanya pelarian diri dari kejenuhan rutinitas sekaligus bertemu dengan kolega bisnis.

Hingga saya menginjakkan kaki disana, sentuhan magis itu mulai terasa. Ada sesuatu yang rasakan tapi tidak bisa saya jelaskan dengan kata-kata. Saya mulai berpikir bahwa ini adalah perjalanan spiritual.

Makna lama dari spiritual selalu berkaitan dengan agama. Tapi dewasa ini 'spiritual' menjadi korban pelebaran makna.

Spiritual bukan lagi hanya soal agama. Tapi bisa bermakna jiwa yang berlawanan dengan hal berbau material atau fisik.

Saya menelusuri jalan Belgrade, ibukota Serbia. Saya melihat sekeliling, sebuah peradaban yang sungguh berbeda dengan Asia Tenggara.

Gaya bangunan yang berbeda, manusia-manusia dengan postur tinggi dengan khas rambut kuning dan mata biru. Saya takjub.

Sampai saat ini saya hanyalah seorang introvert yang suka kehabisan energi ketika berada di keramaian. Bertahun-tahun menjadi pemalu dan hanya suka memerhatikan dari kejauhan.

Saya seringkali secara tidak sengaja membantah keyakinan saya sendiri dengan logika dasar bahwa jika saya A, maka saya bukan B.

Jika saya pemalu, maka saya tidak akan bisa dengan mudah berbicara dengan;
Orang baru,
Orang yang berbeda negara,
Orang yang berbeda bahasa,
Orang yang berbeda budaya.

Hingga saya berkenalan dengan Israel, seorang pria dari sebuah negara di benua Amerika bernama Kuba, yang berbahasa Spanyol dan memiliki perbedaan budaya signifikan dengan saya.

Dan Israel adalah teman dekat saya selama perjalanan di Serbia.

Butuh bertahun-tahun bagi bocah ini, untuk bertumbuh dan mendobrak stereotip tentang dirinya sendiri.

Di Serbia saya satu hostel dengan seorang gadis Belanda. Kami sempat berbincang mengenai masa lalu negara kami. Saya hanya bilang padanya bahwa kita tidak ada urusan dengan apapun yang terjadi antara Indonesia dan Belanda di masa lalu. Kami sepakat.

Pukul 1 pagi di Belgrade, gadis Belanda itu merasa bosan dan saya mengajaknya ke bar. Mengapa ke bar? karena saya baru saja balik dari sana menemani Israel yang menari salsa di bar itu, tarian khas Amerika Latin.

Saya pikir gadis Belanda itu akan menyukai-nya. Saya masuk ke bar dan saya membantah stereotip mayoritas.

Jika kamu ke bar, maka kamu akan minum alkohol. Tapi nyatanya saya tidak minum sama sekali.

Ke bar jelas bukan hobi saya. Saya hanya senang mengamati, mengapa keramaian ini begitu membuat orang senang. Bagi saya justru memuakkan.

Saya suka ketenangan. Saya suka tempat dimana saya bisa menyendiri. Saya tidak menikmati pesta dengan musik keras.

Di perjalanan pergi dan pulang ke bar. Saya berbincang dengan gadis Belanda itu. Kami sepakat bahwa dia adalah seorang extrovert, yang suka keramaian dan mendapat kejenuhan luar bisa apabila sendirian.

Saya pikir saya meyukainya. Saya harap bisa berjumpa lagi dengannya. Kini ia berkeliaran di Eropa sedangkan saya kembali ke Istanbul dan menyapa kembali rutinitas saya.

Bulan Juli mungkin dia kembali ke Belanda. Bulan Juli, mungkin saya akan menemui nya  lagi di Belanda.

Amsterdam.

Seorang pemuda berusia 23 tahun, berkelana ke benua eropa. Sendirian. Hal yang tak pernah ter-pikirkan bisa  ia lakukan jika melihat kembali ke masa lalu.

Perjalanan spiritual ini mengajarkan saya. Bukan apa-apa tapi waktu lah yang menjadikan seseorang. Saya merasa hidup.

-8 April 2019-

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...